Jumat, 29 Juli 2011

Kamis, 21 Juli 2011

Rehat

I'm taking a break.

To retrace my roots,

and pay tribute to my ancestors.


And after the seventh sun goes down,
I'll return.


God willing, I'll return.


:)

Salam.

Rabu, 20 Juli 2011

Fotografer, fotografi B/W dan kopi

Bukan, mungkin bukan seperti yang anda pikirkan dimana posting kali ini mengenai fotografer yang memotret dengan film hitam putih dan setelahnya meminum secangkir kopi.

Saya baru menemukan halaman dari Engadget dimana anda bisa mencuci film hitam putih sendiri dengan meracik larutan developer dengan bahan dasar kopi, vitamin C dan washing soda (soda abu?)...

Larutannya disebut dengan Caffenol. Ya walaupun berita mengenai vitamin C yang menjadi bahan buat developer bukanlah berita baru dengan Kodak Xtol sebagai alternatif Kodak Dektol / D-76, tapi yang jelas reaksi awal saya sewaktu pertama membaca berita ini adalah seperti ini:

(O_o) Huh?


Silahkan cek sendiri di tautan ini. Atau tonton saja videonya dibawah ini:


Sebelum menemukan berita ini, posting saya terakhir adalah tentang nostalgia menggunakan film. Dan sekarang,...

Hmm... :|

Tampaknya jadi ada satu hal lagi yang membuat kopi jadi bagian tak terpisahkan dari fotografi atau setidaknya bagi sebagian fotografer :p

Salam.

Selasa, 19 Juli 2011

Nostalgia frame ke 37...

Kadang-kadang saya kangen dengan film.

Dengan kamera SLR format 135 (atau juga disebut dengan format 35mm) yang sekarang bisa didapat dengan harga yang tak terpikirkan murahnya bila dibandingkan dengan 7-10 tahun lalu.

Dengan momen-momen kecil seperti waktu membuka silinder plastik berisi film dengan bunyi "pop!"... Ketika tabung film atau yang disebut juga dengan cartridge jatuh karena tarikan gravitasi ke atas telapak tangan....

Lalu saat dimana membuka punggung kamera untuk menyelipkan lidah film ke dalam spool penggulung dan mensejajarkan lubang-lubang perforasi dengan sprocket, memasukkan tabung film ke ruang cekung di sebelah kiri dengan kontak-kontak DX (bagi kamera elektronik) yang membaca ISO, jenis dan panjang film secara otomatis...

Menutup punggung kamera dengan bunyi "klik" atau "krak" tergantung kameranya...

Mengokang rana sekaligus memajukan frame satu persatu pada kamera manual, merasakan resistensi tarikan film tersebut dengan jempol kanan...

Small things...


Lalu mulai memotret. Mengatur fokus, kecepatan rana dan diafragma. Klik-klik-klik, tanpa sekalipun harus berhenti untuk memandangi punggung kamera - chimping - karena memang tidak ada monitor LCD yang menampilkan hasil pemotretan disana.



Dimana "dunia" hanya dibatasi hingga 36 exposure.

Lalu ketika kesemua 36 frame itu habis terpakai. Berharap masih ada ekstra satu-dua frame tambahan ketika ada momen yang mulai terkuak di depan mata...


Sewaktu bergegas menuju laboratorium cuci-cetak, atau ke kamar gelap untuk mencuci film B/W sendiri.


Berharap-harap cemas menanti hasil negatif yang sudah diproses keluar dari mesin atau tabung cuci. Dengan disertai monolog dalam hati yang sudah sangat familiarnya:

("Bagus gak ya hasilnya? Aduh jangan-jangan over semua hasilnya. Momen tadi kayaknya tertangkap tapi gak yakin juga... Ih lama banget sih cuci film doang?!")

Dan faktor surprise sewaktu meneliti satu-persatu dari 30-an frame-frame negatif yang sudah beres dicuci dengan menggunakan lup/kaca pembesar. Dengan teriakan kemenangan dalam hati sewaktu ternyata ada hasil yang cukup bagus dimana momen puncak suatu peristiwa tertangkap jelas disana:


"Got it!"

Tapi kemudian kecewa saat dicetak besar karena ternyata hasilnya tak sebagus yang disangka sebelumnya... :))

 Ya, kadang-kadang saya kangen dengan film.

Kehalusan dan kekasaran khas tekstur grain film-film ber-ISO rendah dan tinggi...

Dimana noise adalah polusi suara dari berisiknya band-band underground, death metal dan sejenisnya yang sama sekali tidak terlihat pada hasil foto...

Waktu-waktu dimana satu frame demikian berharga sehingga seorang fotografer benar-benar berhati-hati dalam pemotretannya. Every frame counts, dimana kamera dengan motor drive yang tercepat pun tak mampu memotret lebih lama dari 7-8 detik.

Sewaktu komputer hanya dipakai untuk mengetik dan digital adalah istilah untuk menyebut jam tangan ber-LCD.

Ketika hasil yang terbaik adalah lebih murni dari hasil kerja keras dan bukan dari hasil manipulasi dengan menggunakan komputer...


Yah begitulah.

One of these days, suatu hari mungkin saya akan mengunjungi kembali kawan lama ini. Selama masih ada film yang diproduksi, dan masih ada tempat cuci-cetak yang beroperasi.

...

Salam.

Size matters (sometimes)

Quick! Apa bedanya 12MP dari kamera ponsel dengan 12MP dari SLR digital - selain dari perangkatnya tentunya.

Menyerah?

Baiklah, perbedaan 12MP kamera ponsel dengan DSLR digital adalah antara ini:


Dengan ini:


Ilustrasi diatas menunjukkan perbedaan ukuran antara sensor imaji digital terbesar pada ponsel (dalam hal ini smartphone Nokia N8 - per Oktober 2010) dengan sensor imaji kebanyakan kamera SLR digital. Dengan kata lain, resolusi keduanya boleh sama tapi dihasilkan dari dimensi sensor yang berbeda-beda.

Sekarang bayangkan 12 juta pixel dijejalkan ke dalam masing-masing sensor tersebut. Tiap-tiap pixel - yang dalam konteks ini lebih tepat disebut sebagai photosites - adalah elemen-elemen yang menangkap cahaya dan disusun rapi dalam keseluruhan area sensor. Tanpa berpikir terlalu dalam bisa dimaknai disini bahwa dimensi sensor imaji akan mempengaruhi pula ukuran masing-masing photosite.

Disinilah dimana ukuran memegang peranan (atau dalam bahasa 'preman'-nya: size matters :p). Lebih tepatnya, dimensi photosite yang lebih besar akan mampu menangkap lebih banyak cahaya. Photosite yang menangkap lebih banyak cahaya akan menghasilkan lebih banyak sinyal elektronik yang berisi data (atau dalam bahasa teknisnya menghasilkan Signal to Noise ratio (S/N ratio) yang lebih baik).

Bila sekumpulan photosite dengan S/N ratio yang lebih baik tadi ditata dalam wilayah sebuah sensor, maka secara keseluruhannya sensor imaji tersebut akan memiliki performa pengambilan gambar yang juga lebih baik khususnya dalam pemotretan dengan cahaya minim dan/atau dengan setting ISO yang lebih tinggi. Khusus mengenai setting ISO ini, penting untuk diketahui bahwa setting ISO dalam kamera digital tidak merubah kepekaan sensor tersebut terhadap cahaya melainkan berfungsi untuk mengubah penguatan (gain) sinyal-sinyal elektronik yang dihasilkan dari sensor tersebut.

Untuk ilustrasi lebih jauh, berikut ini adalah perbandingan beberapa ukuran sensor imaji digital:


Kotak-kotak berwarna merah dan jingga adalah rentang besarnya sensor-sensor yang biasa disertakan dalam kamera ponsel sampai kamera-kamera digital ringkas. Pengkodean yang diberikan untuk sensor-sensor kecil ini adalah 1/6" (satu per enam inci, merah: 2,4 x 1,8mm) hingga 1/1.8" (jingga: 7.18 x 5.32mm). APS-C adalah dimensi sensor yang umum bagi kamera-kamera SLR dengan sedikit variasi antara 22,2 x 14,8mm (Canon) hingga 23,7 x 15,6mm (Nikon, Sony, Pentax dan lain-lain). Sensor Full Frame (dengan dimensi sama seperti film format 135: 24 x 36mm) biasanya digunakan untuk kamera-kamera digital kelas profesional.

Untuk keringkasan, disini sengaja tidak disertakan dimensi sensor-sensor lain seperti 1/3", 1/2",  Canon APS-Hmedium format digital (yang bisa mencapai ukuran 53,7 x 40,4mm seperti Phase One) dan seterusnya.

***


Efek langsung besarnya sensor terhadap hasil pemotretan bisa dilihat dari beberapa contoh dibawah ini. Dimulai dengan kamera ponsel yang saya miliki (Nokia 3110c - 1,3MP) dan diakhiri dengan hasil dari Nikon D40 (6MP). Perlu diketahui sebelumnya bahwa hasil-hasil yang anda lihat adalah hasil-hasil murni dari kamera tanpa pengeditan apapun kecuali reorientasi (rotate) untuk hasil dari ponsel dan resize serta cropping untuk hasil dari SLR digital.

Pemotretan dengan kamera ponsel, setting standar:


Kamera ponsel, dengan setting night scene (shutter speed lambat):


Abaikan kegoyangan kamera khususnya pada foto kedua. Tapi perhatikan bahwa kehalusan gambar secara keseluruhan menjadi lebih baik bila memakai setting night scene dengan melambatkan kecepatan rana (yang otomatis memasukkan lebih banyak cahaya ke sensor). Tentu saja, kecepatan rana yang lebih lambat akan semakin memperbesar resiko kegoyangan kamera yang terekam pada foto.

Lalu hal lain yang paling jelas adalah keterbatasan sensor berukuran kecil dimana noise pada kedua foto diatas sangat jelas terlihat. Padahal dengan resolusi hanya 1,3MP, ukuran photosite pada sensor imaji digital ponsel tersebut masih relatif lebih besar dibanding kamera ponsel lain dengan resolusi lebih tinggi.

Sayangnya, hasil dari kamera ponsel ini tidak menyertakan data-data teknis yang esensial pada file-file output-nya sehingga tidak bisa diketahui berapa ISO, kecepatan rana dan bukaan diafragma yang dipakai.

Selanjutnya, objek yang sama bila dipotret dengan SLR digital dengan posisi zoom diusahakan mendekati sudut pandang kamera ponsel:


Disini setting kamera yang saya pakai adalah output RAW (yang tidak menyertakan noise reduction sama sekali) yang kemudian di konversi menjadi JPG tanpa diolah sebelumnya. Bahkan dengan ISO 1600 pun hasilnya masih terlihat halus dan tajam.

Tentu saja, hasil diatas adalah hasil resize dari output 6MP sehingga terlihat jauh lebih halus. Namun apabila di-crop sesuai resolusi monitor untuk menunjukkan detail:


Cukup jelas bahwa noise yang dihasilkan masih jauh lebih halus dibandingkan dengan hasil dari kamera ponsel dengan night scene sekalipun.

Size does matter, ukuran memang berpengaruh terhadap kualitas hasil foto khususnya bila kita bicara mengenai sensor imaji pada kamera-kamera digital. Hal ini tampak jelas dari contoh-contoh diatas dimana kamera dengan dimensi sensor yang lebih kecil cenderung menghasilkan noise yang lebih banyak khususnya dalam pemotretan dengan cahaya minim.

***

Tapi bukan berarti anda tidak bisa mengoptimalkan hasil dari kamera ponsel atau kamera saku anda. Keterbatasan-keterbatasan dari sensor berukuran kecil juga berarti keunggulan-keunggulannya di sisi lain. Sebut saja ukuran perangkatnya yang jauh lebih ringkas dibanding SLR digital yang paling ringkas sekalipun sehingga lebih cocok untuk pemotretan candid dan street photography, misalnya. Anda juga bisa mengaktifkan fitur night scene atau yang sejenisnya - bila ada fasilitas ini di dalam kamera anda - untuk memperbanyak cahaya yang masuk mengenai sensor biarpun itu dalam kondisi terang sekalipun. Tapi perlu diingat, bila anda mengaktifkan fitur ini, anda sebaiknya meletakkan kamera ponsel / kamera saku anda di tempat yang stabil sebelum menekan tombol pelepas rana untuk menghindari kegoyangan kamera. Disamping semua itu, masih banyak lagi trik-trik lain yang bisa dipelajari yang semoga bisa terinspirasi dari bahasan kali ini.

Jadi, ya. Sekali lagi, jika kita bicara hanya sebatas teknis-nya saja, size matters. Tapi bila kita melihat secara keseluruhannya, meskipun dengan segala keterbatasan ukuran sensor imaji kamera anda,...

...it's just sometimes. :)

Salam.

Senin, 18 Juli 2011

The person behind the camera is what really matters!

Alkisah,...

Dalam suatu perbincangan dalam sebuah komunitas pecinta fotografi, ada seseorang yang bertanya ke saya:

"Jika saya mengganti kamera saya dengan yang lebih canggih, apa itu bisa menaikkan skill saya?"

Respon saya awalnya hanya berupa:

"Eh?..."

Merenung panjang ke belakang, ke masa 20 tahun lalu dimana saya baru belajar fotografi dan saya jadi ingat betapa hal yang sama pernah saya pertanyakan sebelumnya. Pertanyaan yang berawal dari "keminderan" saya menggunakan kamera Ricoh KR-5 Super dimana di sekitar saya bertebaran pemakai Nikon dan Canon. Masa-masa itulah dimana saya terus merasa minder sampai akhirnya saya melihat bahwa hasil karya teman-teman saya yang memakai kamera-kamera yang lebih canggih itu tak jauh berbeda kualitasnya dibanding dengan hasil dari kamera yang saya pakai.

Kembali ke dialog itu, saya bertanya balik kepada si penanya:

"Apa kamera kamu sekarang, dan apa lensa-lensa yang kamu punyai?"

Dijawab dengan menyebut satu merk kamera SLR digital kelas advanced amateur keluaran lumayan baru dengan lensa kitnya ditambah dengan lensa tele zoom merk yang sama.

Kemudian saya tanyakan lagi:

"Lalu kenapa kamu mau ganti kamera?"

Dia menjawab bahwa dengan kamera yang lebih canggih setingkat diatas yang dia miliki dia merasa lebih mantap dan merasa bisa lebih berkembang.

Ah. Saya nyengir lebar. Lalu saya tebarkan pandangan kepada semua yang hadir disitu sebelum saya angkat bicara lagi dengan mengajukan sebuah pertanyaan:

"Coba kalian tebak, kamera apa yang saya pakai sejak dua tahun lalu sampai sekarang buat memotret baik itu untuk hobi maupun untuk kerja?"

Lalu terdengarlah suara-suara yang menjawab mulai dari Nikon D90, D300, Canon EOS -5D dan seterusnya. Kamera-kamera hebat dan canggih yang banyak digunakan oleh profesional.

Cengiran saya semakin bertambah lebar sewaktu saya merogoh ke dalam tas ransel yang saya bawa dan mengeluarkan kamera yang saya pakai. Melihat itu mereka semua menjadi bungkam. Ah, it feels good to deny such expectations from others in situation like that :D

"Nikon D40. 6 Megapixel. Keluaran tahun 2006 tapi sudah berhenti diproduksi di tahun 2009. Gak bisa video. Shutter speed cuma sampai 1/4000 tapi sinkron kilatnya bisa sampai 1/500. Continuous drive-nya cuma sampai 2,5 frame per second tapi toh saya masih bisa pakai buat motret air show..."

Lalu saya arahkan pandangan ke si penanya pertama tadi.

"Kamera kamu jauh lebih canggih dari kamera saya. Kalau kamu gak mau, buat saya deh..."

***

Sebenarnya pertanyaan semacam itu sudah cukup sering saya dengar sebelumnya. Tapi pengalaman pada perbincangan saat itu benar-benar memberi - ahem - "pencerahan" buat saya sendiri.

Now let's see, darimana saya harus mulai?

***

Berikan seorang fotografer berpengalaman dengan kamera saku dan dia bisa membuat foto-foto berkualitas tinggi, sebaliknya, berikanlah kamera profesional kepada seseorang yang baru belajar fotografi dan kemungkinan dia akan mengeluhkan betapa berat dan kompleksnya kamera tersebut tanpa memotret terlalu banyak. Itupun dengan hasil yang seadanya.

Hal ini sebenarnya sangat sederhana: Fotografer yang berpengalaman tahu bagaimana cara mengoptimalkan kamera apapun yang dia pakai sesuai dengan keterbatasan dan keunggulan kamera tersebut. Tapi lebih dalam dari itu, dia juga paham mengenai hal-hal apa yang ingin dia abadikan dan dalam wujud seperti apa yang akan dihasilkan dari situ.

Saya pernah dan masih sering menyaksikan orang-orang yang hanya memakai kamera handphone dengan resolusi rendah yang menghasilkan karya-karya foto yang indah yang membuat banyak orang berdecak kagum. Di sisi lain, saya masih sering pula menyaksikan orang-orang yang menggunakan kamera canggih tapi hasil-hasil karyanya hanya dilihat sekilas untuk lalu dilupakan. Hakikatnya disini adalah seperti judul tulisan kali ini: The person behind the camera is what really matters!  Adalah fotografer yang berada di balik kameranya yang benar-benar menentukan hasil karyanya.

Jadi pada intinya, kamera itu hanyalah alat. Ya, alat. Dimana hasil yang diberikan alat tersebut tergantung kepada kualitas pemakainya. Tentu saja, kamera yang bagus dan mahal dengan segala kecanggihannya bisa mendukung buat menciptakan karya foto yang lebih bagus, tapi itu sangat tergantung kepada seberapa mampu fotografernya untuk mendayagunakan fitur-fitur canggih tersebut. Dan kalau kita sudah bicara soal kemampuan sang fotografernya, kita sudah bicara mengenai pengetahuan dan pengalaman.

Dan dua hal terakhir inilah yang tidak bisa diraih secara instan.

***

Adalah suatu kebohongan jika saya tuliskan disini bahwa saya tidak tertarik dengan kamera-kamera yang lebih baru dan canggih dimana fitur-fitur yang saya butuhkan seperti automatic bracketing dalam bodi kamera yang lebih tangguh dengan weather sealing akan lebih menunjang dalam kegiatan fotografi saya khususnya untuk bekerja di luar ruangan. Atau bila dikatakan bahwa saya sudah sangat puas dengan apa yang saya miliki sekarang sehingga tidak merasa perlu lagi untuk meng-upgrade peralatan-peralatan yang ada.

Tidak, bukan seperti itu. Ada masanya dimana keterbatasan peralatan yang dimiliki membatasi kemampuan untuk berkarya. Disini mungkin anda pun merasa demikian, tapi kemudian tanyakanlah kepada diri anda sendiri: Sudahkah anda mengeksplorasi kemampuan kamera anda sampai batas-batas maksimumnya? Yakinkah bahwa apa yang anda inginkan adalah sebuah kebutuhan? Sudah siapkah dengan tuntutan konsekuensi-konsekuensi dari kamera yang lebih canggih tersebut? 

Mengenai poin yang terakhir, konsekuensi-konsekuensi yang dimaksud tidak hanya sebatas anda harus merogoh saku lebih dalam, tapi juga hal-hal lain misalnya seperti bobot kamera tersebut yang biasanya lebih berat dari kamera entry level. Ingat, anda sendirilah yang akan membawa-bawa semua perlengkapan fotografi tersebut untuk memotret kemanapun anda pergi. Disamping itu, ukuran file hasil output yang lebih besar juga akan lebih cepat memenuhi kartu memori dan ruang penyimpanan hard disk di komputer anda.

Jujurlah pada diri sendiri. Jika memang upgrade kamera atau lensa (dan juga perlengkapan-perlengkapan lain seperti lampu kilat, tripod dan seterusnya) sudah menjadi sebuah kebutuhan, terlebih jika anda mampu untuk membiayainya dan siap dengan konsekuensi-konsekuensinya, by all (legal) means, lakukanlah. Tapi jika anda hanya sekedar tertarik kepada kecanggihan yang lebih "wah"...

Stop worrying about silly things and just keep on shooting!

Berhentilah memikirkan hal-hal konyol dan tetaplah memotret.

***

Setelah perbincangan diatas usai, saya tidak tahu apakah kata-kata saya cukup mengena dan benar-benar dimaknai. Saya harap demikian, namun saya mungkin tak akan pernah bisa mengetahuinya. Biarlah, mereka yang memang akan mendengar, akan benar-benar mendengarkan. Mereka yang memang akan memaknai, juga akan benar-benar memaknainya sementara mereka yang memang acuh tak acuh, akan terus cuek :p

Yang jelas bagi saya, tetap menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk menghasilkan karya-karya terbaik dari alat-alat yang tidak dilirik kebanyakan orang sehingga mereka akan bertanya:

"Anda membuat karya foto sebagus ini dengan itu???"

:))

Salam.

Sabtu, 16 Juli 2011

Guyon seputar fotografi

Ketikan kali ini adalah beberapa guyonan seputar fotografi dan fotografi digital. Ya sekedar upaya untuk menebarkan senyum dan tawa, meskipun bisa jadi garing :p

Enjoy!
...


* "Cewek itu cantik banget deh, seperti habis di Photoshop saja wajahnya..." #lho?
____________________________________________________________________________________


* Kata seorang fotografer kepada pacarnya:

+ "Kamu mengingatkan saya akan kamera medium format digital..."

- "Lho, kok bisa?"

+ "Ya, keren, classy, tapi susah dibawa jalan-jalan dan berat di ongkos..."

____________________________________________________________________________________


+ "Gila lu! Smartphone elu kan canggih? Kameranya aja 12MP, bisa zoom 200x, video hi-res, bisa time lapse dan kedap air 200m pula. Kenapa dijual murah sih?"

- "Sinyalnya jelek."

____________________________________________________________________________________


+ Fotografer sok tahu (F1): "Kamera saya bagus, skill saya juga cukup. Tapi kenapa kamu bilang gak fokus melulu?"

- Fotografer 2 (F2): "Kata siapa? Kamera kamu kan autofocus?"

+ F1: "Tuh kan lagi! Mana coba hasil yang out of focus?"

- F2: "Errr..."

____________________________________________________________________________________


 + Foto kamu keren. Suasana candle light dinner, atmosfirnya romantis. Tapi kenapa cuma foto diri kamu sendiri?

- Ya nanti kalau saya punya pacar, tinggal di cut & paste aja di fotonya pakai Photoshop...


____________________________________________________________________________________

Dari photoquotes.com

If an old man asks a young girl for a date...
That's his business.
If the young girl accepts...
That's her business.
If the old man and the girl decide to marry...
That's their business.
However, if they want great wedding photographs...
THAT'S MY BUSINESS!!!
- Anonymous - - sign on studio wall

The quickest way to make money at photography is to sell your camera.  - Anonymous

Jumat, 15 Juli 2011

"Do's and don'ts" -nya fotografi digital (I)

Berikut ini adalah artikel pertama mengenai beberapa tips singkat dari pengalaman pribadi dalam memotret dan mengolah foto digital. Dirangkai dalam dua bagian yaitu yang harus atau yang sebaiknya dilakukan (Do's) dan yang harus atau yang sebaiknya dihindari (Dont's). Semoga bermanfaat :)

Do's

* Baca buku petunjuk (manual book) kamera anda. Sudah? Baca lagi dengan sungguh-sungguh. Buku petunjuk itu disertakan dalam paket pembelian bukan tanpa alasan, you know?

Meskipun rata-rata kamera digital sekarang sudah dibuat sebegitu mudah untuk dioperasikan, tapi bukan berarti segala fitur-fitur spesifiknya bisa langsung dimengerti. Mau itu kamera di handphone/smartphone anda, kamera saku hingga SLR (Single Lens Reflex) digital, buku petunjuk pengoperasian seringkali mengandung tips-tips pemotretan dan cara-cara optimalisasi kamera yang anda miliki. Selain itu, biasanya juga disertakan cara-cara pemeliharaan kamera yang baik dan benar.


* Belilah kartu memori dengan kapasitas yang cukup besar (sesuaikan jenisnya dengan kebutuhan kamera anda tentunya, entah itu CompactFlash/CF, Secure Digital/SD Card, Memory Stick dll). Tentu saja, semakin tinggi resolusi sensor kamera, semakin besar pula file size yang dihasilkan yang otomatis membutuhkan ruang penyimpanan data yang lebih besar.

Sekedar ilustrasi, untuk kamera 6 mega pixel (MP), satu kartu memori 4 Gigabyte (4 GB) bisa memuat hingga sekitar 500-an file RAW sementara kartu yang sama di kamera beresolusi 18 MP hanya mampu memuat hingga sekitar 100-an file RAW. Ini karena satu file RAW dari kamera 6 MP hanya berukuran 5 - 6 Megabyte (MB) sedangkan kamera 18 MP menghasilkan file RAW berukuran antara 20 - 25 MB.

Meskipun anda tidak pernah atau jarang memotret dengan format RAW, kapasitas penyimpanan data yang lebih lega bisa membantu anda terhindar dari kepanikan dimana ada momen-momen yang menarik untuk diabadikan tapi kapasitas kartu memori sudah hampir habis. Tentu saja, akan lebih baik bila anda memiliki kartu memori tambahan ;)

* Back-up! Back-up! Back-up! Setelah memotret, anda biasanya akan memindahkan data dari kamera ke komputer. Dan seperti halnya data-data elektronik lainnya, adalah hal yang sangat disarankan untuk melakukan back-up dengan mengkopi file-file tadi ke hard disk lain (internal atau eksternal) atau ke media penyimpanan lain seperti DVD-ROM.

Dengan disiplin melakukan back-up, bila anda melakukan kesalahan dalam proses olah imaji digital di komputer, anda masih memiliki cadangan file  aslinya - hal yang lebih penting lagi bila anda hanya memiliki hasil berformat JPG. Tapi apapun format yang anda pakai, hal ini akan sangat melegakan bila sewaktu-waktu terjadi kerusakan hard disk di komputer anda.

* Resize foto dan simpan dalam kualitas lebih rendah bila anda ingin mengunggah karya-karya anda ke internet. Ukuran terpanjang antara 1000 hingga 1600 pixel yang disimpan dengan kualitas 85% adalah kompromi yang baik antara ukuran file dengan kualitas dan dimensi yang cukup besar untuk ditampilkan di internet. Sehubungan dengan hal ini,...

* Sertakan credit title atau tanda hak cipta anda dalam setiap foto yang diunggah yang ditujukan untuk konsumsi publik untuk menghindari pembajakan karya anda oleh orang lain sebisa mungkin. Tanda hak cipta ini sebaiknya dengan menyertakan nama asli anda sebagai pemotretnya dan bukan julukan, nickname atau hal-hal lain yang kurang bisa dikenali publik.


Don'ts


* Meng-copy dan menghapus file setelah transfer. Maksudnya disini adalah biasakan mem-format kartu memori anda setiap selesai memindahkan semua file-file foto anda ke komputer. Ini berguna untuk memperpanjang usia pakai kartu memori anda. Mengapa demikian? Karena bila anda hanya menghapus file-file tersebut, masih ada residu data yang bila dibiarkan terus menerus akan berdampak kepada kemampuan penyimpanan kartu memori. Sehubungan dengan hal ini, sebaiknya anda jangan...


* Membeli kartu memori "abal-abal" alias kartu memori tanpa merk atau merk "aspal" (asli tapi palsu). Penipuan macam ini sudah marak dengan menempelkan merk-merk terkenal pada kartu-kartu memori berkualitas rendah. Kehati-hatian sangat diperlukan untuk menghindari hal ini karena dampak yang dihasilkan dari pemakaian kartu-kartu memori "aspal" ini bisa berakibat buruk pada hasil karya anda - dan mungkin juga hingga kewarasan anda... (:p)


* Terlalu sering mengganti-ganti lensa di tempat terbuka. Ini khususnya kepada para pemakai kamera SLR digital karena debu yang jatuh dan menempel pada sensor akan terlihat jelas di setiap hasil pemotretan. Meskipun di kamera-kamera SLR digital mutakhir sudah memiliki fitur pembersihan sensor secara otomatis, tapi tetap masih ada kemungkinan adanya debu-debu yang "bandel" yang tidak bisa dibersihkan kecuali dengan cara manual.


* Membiarkan kamera terlalu panas, baik itu dari pemakaian yang terlalu lama maupun karena panas matahari atau sumber panas yang lain. Ini karena suhu yang terlalu tinggi akan mempengaruhi kinerja sensor digital dengan "menyumbangkan" lebih banyak noise. Selain itu, panas yang berlebih atau dalam jangka panjang juga bisa memendekkan umur pakai sirkuit elektronik di kamera.


* Menyimpan kamera di tempat lembab, dengan alasan yang jelas: Jamur. Jamur bisa dan akan tumbuh menggerogoti lapisan anti refleksi pada lensa yang akan mengurangi ketajaman gambar yang bisa dihasilkan lensa tersebut. Lebih buruk lagi bila jamur tumbuh di sensor digital di kamera yang berarti kamera harus dibongkar untuk membersihkannya.

Pajang Karya I: To The Light

Ini adalah pembuka pertama dari showcase karya-karya pribadi yang saya rasa layak untuk ditampilkan. Komentar dan kritik membangun sangat diharapkan :)

Enjoy!

To The Light

Senin, 11 Juli 2011

Olah foto HDR dengan Luminance (III) - Pengolahan

Ok, setelah bahan-bahan foto dari hasil bracketing tadi didapatkan, langkah selanjutnya adalah mengolahnya dengan menggunakan Luminance HDR. Luminance, atau yang dulunya dikenal dengan Qtpfsgui, adalah software olah imaji digital untuk menghasilkan foto HDR. Open source dan multi platform untuk Mac, Linux dan Windows, Luminance bisa didapat dengan mengunduh versi yang sesuai dengan OS yang anda pakai dengan mengunjungi tautan diatas.

Tampilan pertama setelah anda menjalankan Luminance adalah seperti ini:


Sangat polos. Nyaris tidak ada apa-apa kecuali sederetan ikon di kiri atas:


Untuk memulai pengolahan, klik ikon di paling kiri (New HDR image):


Yang akan membuka jendela baru dengan penjelasan yang sebaiknya dibaca dulu sebelum menekan tombol Next:


Next,:


Adalah jendela dimana anda memasukkan foto-foto hasil bracketing sebelumnya, mengatur perbedaan exposure secara manual bila diperlukan dan memilih untuk memakai opsi penyeragaman otomatis (Autoalign images) atau tidak. Mulailah dengan menekan tombol Load images seperti terlihat diatas, dan pilihlah serangkaian foto hasil bracketing yang sudah anda siapkan sebelumnya.


Untuk foto-foto hasil bracketing dari kamera, Luminance akan mendeteksi perbedaan EV secara otomatis. Namun adakalanya ia tidak bisa melakukan deteksi otomatis misalnya bila anda melakukan bracketing dari satu file RAW. Untuk itu anda harus memasukkan nilai perbedaan EV tadi secara manual seperti dalam dua contoh berikut:



Langkah selanjutnya adalah memberi tanda centang pada opsi Autoalign images khususnya bila anda melakukan bracketing dengan kamera. Tentu saja bila melakukan bracketing dari satu file RAW opsi ini tidak perlu diaktifkan karena semua foto input berasal dari satu sumber yang sama.


Lalu tunggulah sampai selesai. Lamanya proses ini tergantung dari banyaknya foto yang harus diseragamkan dan juga dari kecepatan pemrosesan komputer anda.


Setelah selesai, akan ditampilkan jendela baru untuk penyesuaian akhir jika diperlukan:


Jika sudah dirasa cukup memuaskan, anda bisa menekan tombol Next untuk masuk dalam opsi berikutnya yaitu pemilihan profil pemrosesan HDR:


Disini ada 6 preset profil yang bisa dipilih. Profil 1 biasanya sudah cukup untuk memberikan hasil terbaik dan itulah yang akan kita pilih untuk saat ini dengan menekan Finish.

Lalu setelah beberapa saat menunggu pemrosesan HDR selesai, akan diperlihatkan hasilnya:


Oops! Ada kesalahan pada highlight seperti yang terlihat diatas. Rupa-rupanya profil 1 kali ini gagal. Sayangnya untuk memperbaikinya, tidak ada opsi undo sehingga harus dilakukan dari awal.

Oh well, sh*t happens... :| Tapi disini kita bisa fast forward saja hingga masuk ke jendela pemilihan profil:


Kali ini profil 6 yang dipilih. Detail-detail perbedaannya dengan profil 1 bisa anda lihat pada gambar diatas.

Selanjutnya tekan tombol Finish dan setelah beberapa saat:


Ahahaa... Much better. Disini bisa dilakukan cropping bila diinginkan untuk mengeliminir sisi-sisi yang tidak seragam sebagai hasil dari penyesuaian otomatis tadi. Tekan dan tarik (click and drag) mouse untuk memberi garis batas cropping:


Lalu tekan tombol "Crop to selection" menjadi:


Langkah selanjutnya adalah menyimpan gambar HDR ini dengan menekan tombol "Save HDR image as..." dengan beberapa opsi format. Format file defaultnya adalah .EXR tapi masih disertakan pula beberapa pilihan lain yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan.

Tapi kita belum selesai. Masih ada beberapa langkah lagi yang harus dilakukan. Format HDR ini masih harus dipetakan kembali ke dalam format LDR (Low Dynamic Range) seperti JPG agar bisa dicetak atau diunggah ke internet. Untuk itu, tekan tombol "Tonemap HDR image" seperti terlihat dibawah:


Yang akan membuka jendela baru seperti ini:


Pada bagian kiri, ada opsi pengolahan HDR menjadi LDR yang disebut Operator dengan parameter-parameter yang bisa diubah-ubah di bawahnya lalu juga ada pemilihan dimensi hasil pengolahan pada opsi Result Size . Untuk lebih jelasnya lihat berikut ini:


Dengan opsi Operator, sebagai berikut:


Dan opsi Result Size seperti ini:


Tentu saja nilai resolusi maksimumnya adalah resolusi foto-foto hasil bracketing anda yang menjadi bahan untuk diolah dalam Luminance. Penting untuk diingat disini, bahwa semakin besar dimensi hasil yang dipilih, akan semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk mengolahnya.

Dari semua opsi-opsi Operator diatas, ada tiga yang biasanya saya pakai yaitu Mantiuk '06, Fattal dan Drago namun tentu saja anda bebas mencoba opsi-opsi lainnya. Lalu perlu diingat pula bahwa tidak ada parameter baku bagi masing-masing Operator. Anda dituntut untuk bereksperimen sendiri dengan variasi nilai parameter-parameter yang berbeda-beda. Disini selama anda mencoba-coba, ada baiknya anda pilih Result Size yang kecil untuk mempercepat pengolahannya. 

Baiklah, kita mulai dengan Mantiuk '06. Disini saya memasukkan nilai 0.600 untuk Contrast Factor dan 15.0 untuk Detail Factor. Kemudian setelah menekan tombol Apply, akan muncul hasilnya seperti dibawah ini:


Bila memilih Result Size yang lebih tinggi, hasilnya bisa diperbesar:


Berikutnya Fattal. Khusus untuk Fattal, hasil dari pengolahannya adalah output dependent yang berarti sangat tergantung dari Result Size yang dipilih. Karena saya memilih Result Size yang terbesar, berarti hal ini bisa diabaikan.

Hasil dari Fattal dengan parameter default-nya adalah seperti ini:


Diperbesar:


Lalu terakhir dengan Drago. Juga dengan parameter default dan Result Size yang sama seperti dua operator sebelumnya:


Diperbesar:


Setelah selesai tinggal menyimpan kesemua hasil olahan ini ke dalam file LDR seperti JPG satu persatu dengan menekan tombol "Save As..." (dimana anda bisa memilih nama lain bagi masing-masing file) atau menyimpan semuanya sekaligus dengan tombol "Save All" (dengan nama default bagi ketiga file-nya):


Berikutnya, ketiga file hasil olahan ini digabungkan dengan menggunakan aplikasi pengolah foto digital seperti Photoshop atau GIMP. Karena saya menggunakan GIMP maka aplikasi inilah yang akan diilustrasikan disini:


Dapat dilihat disini bahwa ketiga hasil olahan tadi dibuka sebagai 3 layer dimana hasil olahan Mantiuk '06 berada di layer paling bawah sementara Fattal berada di layer teratas. Kemudian diberikan opsi layer blending "Soft Light" untuk layer Drago dan Overlay untuk layer Fattal dengan mengatur transparansi (Opacity) kedua layer tersebut untuk mencari tampilan yang paling memuaskan. Tapi sekali lagi perlu diingat bahwa opsi-opsi diatas ini bukanlah hal yang baku karena anda bisa saja mengacak urutan-urutan penempatan layer
dan blending option-nya sesuai selera anda.

Setelah puas dengan hasilnya, anda tinggal meratakan (flatten) ketiganya, membersihkan bercak-bercak debu yang tampak dan kemudian menyimpannya menjadi satu file baru. 

Beginilah hasilnya setelah diberikan "sentuhan akhir" dengan GIMP dan Darktable:


Demikian kiranya pembahasan mengenai olah foto HDR dengan menggunakan Luminance. Semoga bermanfaat.

Ok then, see you next time :)

Olah foto HDR dengan Luminance (II) - Persiapan

Untuk membuat foto HDR, dibutuhkan beberapa input foto objek yang sama (dengan komposisi dan diambil dari posisi yang sama) dengan variasi pencahayaan yang berbeda antara satu dan yang lain. Istilah lain untuk menyebut hal ini adalah Exposure Bracketing.


Ada dua cara bracketing yang dapat dilakukan, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Cara pertama adalah bracketing dengan variasi pencahayaan sewaktu pemotretan:


Dengan cara ini, anda dituntut untuk menggunakan tripod, atau setidaknya mampu untuk tidak terlalu banyak bergerak-gerak demi menghindari variasi angle yang akan menyulitkan sewaktu kesemua foto hasil bracket ini "diramu" dalam software.

Keunggulan cara ini adalah masing-masing frame memiliki rentang dinamisnya sendiri-sendiri dan hasil pengolahannya relatif lebih "halus" dengan noise yang minimum. Kekurangannya adalah cara yang pertama ini kurang cocok untuk membuat HDR dengan objek yang bergerak karena akan terjadi penumpukan atau "ghosting" seperti dalam pemotretan "multiple exposure".

Cara yang kedua, dengan memanfaatkan rentang dinamis dari format RAW yang - seperti telah dibahas sebelumnya - memiliki rentang dinamis yang lebih besar dari JPG. Cara ini bisa dipakai bila anda memotret objek bergerak, atau bila anda tidak membawa tripod seperti contoh dibawah ini:


Dengan cara ini, anda tidak perlu mengambil banyak foto dan karena hanya memerlukan satu file RAW saja, objek bergerak pun bisa dibuatkan foto HDR-nya. Tentu saja, pengukuran cahaya yang tepat akan sangat membantu sewaktu mengkonversi file RAW ini ke JPG dengan memvariasikan kecerahan seperti pada contoh diatas.

Tapi kekurangannya adalah karena diolah dari satu file RAW, akan lebih besar kemungkinannya untuk semakin menimbulkan noise meskipun menggunakan ISO yang rendah. Noise akan lebih tampak di daerah bayangan (shadow) bila menambahkan pencahayaan pada file RAW tersebut yang pada hasil akhirnya akan terlihat jelas pada hasil akhir pengolahan HDR dari satu file RAW ini.

Dari dua contoh diatas, bisa dilihat bahwa bracketing yang dilakukan mengambil rentang sebanyak 5 stop (+2, +1, 0, -1, -2). Akan tetapi perlu diingat bahwa rentang bracketing ini bukanlah hal yang baku. Bracketing bisa saja dilakukan antara 2 hingga 9 stop atau lebih bila memang diinginkan, namun untuk penjelasan kali ini kiranya dicukupkan seperti pada contoh.

Untuk penjelasan mengenai cara "meramu" hasil bracketing ini menjadi sebuah foto HDR, akan diterangkan pada sesi berikutnya.

Olah foto HDR dengan Luminance (I) - Apa itu HDR?

Fotografi HDR atau High Dynamic Range (Rentang Dinamis Tinggi atau kadang-kadang disebut juga dengan HDRI - High Dynamic Range Imaging) adalah teknik untuk merepresentasikan tingkat kecerahan yang lebih luas dari yang biasanya mampu ditampung pada hasil pemotretan normal. Fotografi HDR mampu menghasilkan foto yang tampak lebih natural seperti yang dilihat oleh mata (walaupun juga tidak menutup kemungkinan untuk memberikan hasil yang lebih artistik atau bahkan berbeda jauh dari tampilan natural yang sesungguhnya).

Rentang dinamis ini diukur dalam satuan Exposure Value (EV) (yang juga dikenal dengan istilah stop) antara bagian yang tercerah dan tergelap dalam suatu foto. Sekedar informasi, rentang dinamis yang mampu ditampung dalam format JPG berkisar antara 5 hingga 8 stop sementara RAW bisa menampung antara 10 hingga 12 stop. Di sisi lain jika dibandingkan dengan mata, mata manusia dalam satu waktu bisa menampung rentang dinamis hingga 14 stop. Bahkan bila memasukkan variabel berupa bukaan diafragma pada mata (iris), rentang dinamis yang mampu ditampung oleh mata hampir mencapai 24 stop! Inilah yang menjelaskan mengapa mata manusia mampu melihat detail di daerah terang dan gelap jauh lebih baik dari kamera tercanggih sekalipun.

Kiranya beberapa contoh dibawah ini bisa memberikan gambaran yang lebih jelas:


Foto gedung ini diambil dengan melakukan pengukuran di latar depan (1/30 f/22 ISO 400). Bisa terlihat disini bahwa tidak ada detail yang terekam di langit karena sudah berada diluar rentang dinamis yang bisa ditampung oleh file JPG.

Lalu kebalikannya: 


Dengan melakukan pengukuran di langit (1/500 f/22 ISO 400) didapatkan detail matahari (dengan garis-garis cahaya hasil difraksi dari bukaan diafragma yang kecil). Tapi detail pada gedung - terutama di daerah bayangan pada jendela mulai menjadi terlalu gelap untuk bisa terlihat jelas.

Dengan teknik HDR yang menggabungkan beberapa exposure untuk memperluas rentang dinamis tadi, maka akan didapat hasil seperti dibawah ini:


Dimana detail di daerah terang (highlight) pada langit dan daerah bayangan (shadow) di gedung sama-sama terlihat jelas. Terlepas dari garis-garis difraksi cahaya matahari, representasi seperti inilah yang lebih mendekati keadaan yang dilihat mata secara alaminya.

Sekiranya demikian untuk membahas secara singkat mengenai pengertian fotografi HDR. Di bagian berikut akan diterangkan cara-cara untuk mendapatkan variasi exposure sebagai bahan untuk membuat foto HDR.