Selasa, 19 Juli 2011

Nostalgia frame ke 37...

Kadang-kadang saya kangen dengan film.

Dengan kamera SLR format 135 (atau juga disebut dengan format 35mm) yang sekarang bisa didapat dengan harga yang tak terpikirkan murahnya bila dibandingkan dengan 7-10 tahun lalu.

Dengan momen-momen kecil seperti waktu membuka silinder plastik berisi film dengan bunyi "pop!"... Ketika tabung film atau yang disebut juga dengan cartridge jatuh karena tarikan gravitasi ke atas telapak tangan....

Lalu saat dimana membuka punggung kamera untuk menyelipkan lidah film ke dalam spool penggulung dan mensejajarkan lubang-lubang perforasi dengan sprocket, memasukkan tabung film ke ruang cekung di sebelah kiri dengan kontak-kontak DX (bagi kamera elektronik) yang membaca ISO, jenis dan panjang film secara otomatis...

Menutup punggung kamera dengan bunyi "klik" atau "krak" tergantung kameranya...

Mengokang rana sekaligus memajukan frame satu persatu pada kamera manual, merasakan resistensi tarikan film tersebut dengan jempol kanan...

Small things...


Lalu mulai memotret. Mengatur fokus, kecepatan rana dan diafragma. Klik-klik-klik, tanpa sekalipun harus berhenti untuk memandangi punggung kamera - chimping - karena memang tidak ada monitor LCD yang menampilkan hasil pemotretan disana.



Dimana "dunia" hanya dibatasi hingga 36 exposure.

Lalu ketika kesemua 36 frame itu habis terpakai. Berharap masih ada ekstra satu-dua frame tambahan ketika ada momen yang mulai terkuak di depan mata...


Sewaktu bergegas menuju laboratorium cuci-cetak, atau ke kamar gelap untuk mencuci film B/W sendiri.


Berharap-harap cemas menanti hasil negatif yang sudah diproses keluar dari mesin atau tabung cuci. Dengan disertai monolog dalam hati yang sudah sangat familiarnya:

("Bagus gak ya hasilnya? Aduh jangan-jangan over semua hasilnya. Momen tadi kayaknya tertangkap tapi gak yakin juga... Ih lama banget sih cuci film doang?!")

Dan faktor surprise sewaktu meneliti satu-persatu dari 30-an frame-frame negatif yang sudah beres dicuci dengan menggunakan lup/kaca pembesar. Dengan teriakan kemenangan dalam hati sewaktu ternyata ada hasil yang cukup bagus dimana momen puncak suatu peristiwa tertangkap jelas disana:


"Got it!"

Tapi kemudian kecewa saat dicetak besar karena ternyata hasilnya tak sebagus yang disangka sebelumnya... :))

 Ya, kadang-kadang saya kangen dengan film.

Kehalusan dan kekasaran khas tekstur grain film-film ber-ISO rendah dan tinggi...

Dimana noise adalah polusi suara dari berisiknya band-band underground, death metal dan sejenisnya yang sama sekali tidak terlihat pada hasil foto...

Waktu-waktu dimana satu frame demikian berharga sehingga seorang fotografer benar-benar berhati-hati dalam pemotretannya. Every frame counts, dimana kamera dengan motor drive yang tercepat pun tak mampu memotret lebih lama dari 7-8 detik.

Sewaktu komputer hanya dipakai untuk mengetik dan digital adalah istilah untuk menyebut jam tangan ber-LCD.

Ketika hasil yang terbaik adalah lebih murni dari hasil kerja keras dan bukan dari hasil manipulasi dengan menggunakan komputer...


Yah begitulah.

One of these days, suatu hari mungkin saya akan mengunjungi kembali kawan lama ini. Selama masih ada film yang diproduksi, dan masih ada tempat cuci-cetak yang beroperasi.

...

Salam.

1 komentar:

  1. wahh ini objeknya sederhana tapi hasilnya keren bangettt hihi

    Yukk wisata ke Dieng bersama kami cukup klik dan lihat penawaran di Paket Wisata Dieng website kami Paket Wisata Dieng

    BalasHapus