Senin, 18 Juli 2011

The person behind the camera is what really matters!

Alkisah,...

Dalam suatu perbincangan dalam sebuah komunitas pecinta fotografi, ada seseorang yang bertanya ke saya:

"Jika saya mengganti kamera saya dengan yang lebih canggih, apa itu bisa menaikkan skill saya?"

Respon saya awalnya hanya berupa:

"Eh?..."

Merenung panjang ke belakang, ke masa 20 tahun lalu dimana saya baru belajar fotografi dan saya jadi ingat betapa hal yang sama pernah saya pertanyakan sebelumnya. Pertanyaan yang berawal dari "keminderan" saya menggunakan kamera Ricoh KR-5 Super dimana di sekitar saya bertebaran pemakai Nikon dan Canon. Masa-masa itulah dimana saya terus merasa minder sampai akhirnya saya melihat bahwa hasil karya teman-teman saya yang memakai kamera-kamera yang lebih canggih itu tak jauh berbeda kualitasnya dibanding dengan hasil dari kamera yang saya pakai.

Kembali ke dialog itu, saya bertanya balik kepada si penanya:

"Apa kamera kamu sekarang, dan apa lensa-lensa yang kamu punyai?"

Dijawab dengan menyebut satu merk kamera SLR digital kelas advanced amateur keluaran lumayan baru dengan lensa kitnya ditambah dengan lensa tele zoom merk yang sama.

Kemudian saya tanyakan lagi:

"Lalu kenapa kamu mau ganti kamera?"

Dia menjawab bahwa dengan kamera yang lebih canggih setingkat diatas yang dia miliki dia merasa lebih mantap dan merasa bisa lebih berkembang.

Ah. Saya nyengir lebar. Lalu saya tebarkan pandangan kepada semua yang hadir disitu sebelum saya angkat bicara lagi dengan mengajukan sebuah pertanyaan:

"Coba kalian tebak, kamera apa yang saya pakai sejak dua tahun lalu sampai sekarang buat memotret baik itu untuk hobi maupun untuk kerja?"

Lalu terdengarlah suara-suara yang menjawab mulai dari Nikon D90, D300, Canon EOS -5D dan seterusnya. Kamera-kamera hebat dan canggih yang banyak digunakan oleh profesional.

Cengiran saya semakin bertambah lebar sewaktu saya merogoh ke dalam tas ransel yang saya bawa dan mengeluarkan kamera yang saya pakai. Melihat itu mereka semua menjadi bungkam. Ah, it feels good to deny such expectations from others in situation like that :D

"Nikon D40. 6 Megapixel. Keluaran tahun 2006 tapi sudah berhenti diproduksi di tahun 2009. Gak bisa video. Shutter speed cuma sampai 1/4000 tapi sinkron kilatnya bisa sampai 1/500. Continuous drive-nya cuma sampai 2,5 frame per second tapi toh saya masih bisa pakai buat motret air show..."

Lalu saya arahkan pandangan ke si penanya pertama tadi.

"Kamera kamu jauh lebih canggih dari kamera saya. Kalau kamu gak mau, buat saya deh..."

***

Sebenarnya pertanyaan semacam itu sudah cukup sering saya dengar sebelumnya. Tapi pengalaman pada perbincangan saat itu benar-benar memberi - ahem - "pencerahan" buat saya sendiri.

Now let's see, darimana saya harus mulai?

***

Berikan seorang fotografer berpengalaman dengan kamera saku dan dia bisa membuat foto-foto berkualitas tinggi, sebaliknya, berikanlah kamera profesional kepada seseorang yang baru belajar fotografi dan kemungkinan dia akan mengeluhkan betapa berat dan kompleksnya kamera tersebut tanpa memotret terlalu banyak. Itupun dengan hasil yang seadanya.

Hal ini sebenarnya sangat sederhana: Fotografer yang berpengalaman tahu bagaimana cara mengoptimalkan kamera apapun yang dia pakai sesuai dengan keterbatasan dan keunggulan kamera tersebut. Tapi lebih dalam dari itu, dia juga paham mengenai hal-hal apa yang ingin dia abadikan dan dalam wujud seperti apa yang akan dihasilkan dari situ.

Saya pernah dan masih sering menyaksikan orang-orang yang hanya memakai kamera handphone dengan resolusi rendah yang menghasilkan karya-karya foto yang indah yang membuat banyak orang berdecak kagum. Di sisi lain, saya masih sering pula menyaksikan orang-orang yang menggunakan kamera canggih tapi hasil-hasil karyanya hanya dilihat sekilas untuk lalu dilupakan. Hakikatnya disini adalah seperti judul tulisan kali ini: The person behind the camera is what really matters!  Adalah fotografer yang berada di balik kameranya yang benar-benar menentukan hasil karyanya.

Jadi pada intinya, kamera itu hanyalah alat. Ya, alat. Dimana hasil yang diberikan alat tersebut tergantung kepada kualitas pemakainya. Tentu saja, kamera yang bagus dan mahal dengan segala kecanggihannya bisa mendukung buat menciptakan karya foto yang lebih bagus, tapi itu sangat tergantung kepada seberapa mampu fotografernya untuk mendayagunakan fitur-fitur canggih tersebut. Dan kalau kita sudah bicara soal kemampuan sang fotografernya, kita sudah bicara mengenai pengetahuan dan pengalaman.

Dan dua hal terakhir inilah yang tidak bisa diraih secara instan.

***

Adalah suatu kebohongan jika saya tuliskan disini bahwa saya tidak tertarik dengan kamera-kamera yang lebih baru dan canggih dimana fitur-fitur yang saya butuhkan seperti automatic bracketing dalam bodi kamera yang lebih tangguh dengan weather sealing akan lebih menunjang dalam kegiatan fotografi saya khususnya untuk bekerja di luar ruangan. Atau bila dikatakan bahwa saya sudah sangat puas dengan apa yang saya miliki sekarang sehingga tidak merasa perlu lagi untuk meng-upgrade peralatan-peralatan yang ada.

Tidak, bukan seperti itu. Ada masanya dimana keterbatasan peralatan yang dimiliki membatasi kemampuan untuk berkarya. Disini mungkin anda pun merasa demikian, tapi kemudian tanyakanlah kepada diri anda sendiri: Sudahkah anda mengeksplorasi kemampuan kamera anda sampai batas-batas maksimumnya? Yakinkah bahwa apa yang anda inginkan adalah sebuah kebutuhan? Sudah siapkah dengan tuntutan konsekuensi-konsekuensi dari kamera yang lebih canggih tersebut? 

Mengenai poin yang terakhir, konsekuensi-konsekuensi yang dimaksud tidak hanya sebatas anda harus merogoh saku lebih dalam, tapi juga hal-hal lain misalnya seperti bobot kamera tersebut yang biasanya lebih berat dari kamera entry level. Ingat, anda sendirilah yang akan membawa-bawa semua perlengkapan fotografi tersebut untuk memotret kemanapun anda pergi. Disamping itu, ukuran file hasil output yang lebih besar juga akan lebih cepat memenuhi kartu memori dan ruang penyimpanan hard disk di komputer anda.

Jujurlah pada diri sendiri. Jika memang upgrade kamera atau lensa (dan juga perlengkapan-perlengkapan lain seperti lampu kilat, tripod dan seterusnya) sudah menjadi sebuah kebutuhan, terlebih jika anda mampu untuk membiayainya dan siap dengan konsekuensi-konsekuensinya, by all (legal) means, lakukanlah. Tapi jika anda hanya sekedar tertarik kepada kecanggihan yang lebih "wah"...

Stop worrying about silly things and just keep on shooting!

Berhentilah memikirkan hal-hal konyol dan tetaplah memotret.

***

Setelah perbincangan diatas usai, saya tidak tahu apakah kata-kata saya cukup mengena dan benar-benar dimaknai. Saya harap demikian, namun saya mungkin tak akan pernah bisa mengetahuinya. Biarlah, mereka yang memang akan mendengar, akan benar-benar mendengarkan. Mereka yang memang akan memaknai, juga akan benar-benar memaknainya sementara mereka yang memang acuh tak acuh, akan terus cuek :p

Yang jelas bagi saya, tetap menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk menghasilkan karya-karya terbaik dari alat-alat yang tidak dilirik kebanyakan orang sehingga mereka akan bertanya:

"Anda membuat karya foto sebagus ini dengan itu???"

:))

Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar