Senin, 01 Agustus 2011

20 tahun dan 1500 mil kemudian... (III)

What so special about Kerinci?


Apa yang membuat Kerinci begitu spesial di mata saya? Tentunya selain dari faktor yang memang sudah jelas, bahwa ia adalah tanah kelahiran ayah saya.

Bagaimana dengan ini? :

Papan nama jalan dengan aksara Incung/Rencong Kerinci
Salah satu keunikan budaya Kerinci bisa dilihat dari bahasa dan aksara khas wilayah ini. Mengenai bahasa lisan, keunikannya dapat dicerna dari ilustrasi berikut: Pertemukan orang asli Kerinci dengan orang Padang dan orang Kerinci umumnya mampu berbicara dengan bahasa Minang, tapi orang Padang belum tentu mampu berbicara bahasa Kerinci. Dialek-dialek antar kampung sesama orang Kerinci pun belum tentu sama seperti di kota Sungai Penuh sendiri yang bisa memiliki hingga lima dialek yang berbeda.

Lalu mengenai aksara Incung sendiri, aksara ini menjadi indikasi kemapanan budaya Kerinci yang sama sekali berbeda dari budaya Minangkabau dan Jambi. Aksara yang dulunya mulai terlupakan ini, mulai tahun depan akan dijadikan kurikulum di sekolah-sekolah umum di Kabupaten Kerinci - satu hal yang patut disyukuri untuk kelestarian keunikan budaya Kerinci secara keseluruhan.

Aksara Incung/Rencong Kerinci
sumber:wikipedia

Lalu percayakah anda bila setidaknya ada satu penelitian yang menyatakan bahwa suku Kerinci adalah suku bangsa tertua di dunia? No I'm not making things up. Saya tidak mengada-ada, silahkan baca sendiri di tautan ini, disitu selain hal yang saya sebutkan barusan, anda juga akan mendapati bahwa di lembah Kerinci ini, terdapat sekitar 135 dialek yang berbeda yang hanya digunakan di daerah ini.

Satu hal yang sudah jelas, bahwa dibutuhkan penelitian-penelitian dan penggalian-penggalian arkeologi yang lebih komprehensif untuk menguak tabir dan mempelajari sejarah masyarakat dan budaya Kerinci dengan lebih mendalam. Bila selama ini anda kurang mengenal keunikan budaya dan masyarakat Kerinci bisa dipahami dari karakter umum masyarakatnya yang cenderung low profile. Itulah mengapa kata-kata pembuka seri tulisan kali ini saya tulis dengan kalimat: "...di sebuah kota kecil yang rendah hati."

***

Di hari-hari selama saya berada disana, di sela-sela waktu yang bisa saya dapatkan untuk hunting, saya memutuskan untuk berjalan kaki mengelilingi kota dengan ditemani dengan kemenakan dan saudara sepupu. It was such a nice experience - pengalaman yang benar-benar menyenangkan dimana saya bisa lebih meresapi atmosfir sebuah kota kecil yang bersahaja.

Busy hour sepanjang jalan R.E. Martadinata Sungai Penuh.
Ada keunikan lain yang baru saya temui: seragam anak-anak sekolah. Saya baru menyadari sewaktu berjalan melewati gedung SMP Negeri 1 Sungai Penuh, bahwa anak-anak yang memakai busana muslim berwarna krem/merah muda ternyata adalah anak-anak sekolah negeri:

Dua siswi SMP Negeri 1 Sungai Penuh.
Tadinya saya pikir seragam mereka adalah seragam sekolah swasta... :p
Call me silly, tapi begitulah adanya. Betapa perjalanan ini betul-betul membuka mata terhadap banyak hal-hal baru yang tak bisa saya temui di Jakarta dan kota-kota lain yang pernah saya kunjungi.

Menjelang sorenya, saya diajak untuk mengunjungi salah satu masjid tertua di Sungai Penuh:  Masjid Agung Pondok Tinggi. Masjid yang dibangun di tahun 1874 ini merupakan peninggalan sejarah yang dilindungi dengan keunikan-keunikan yang bisa dibaca di tautan sebelumnya.

Setelah melaksanakan shalat sunnah tahiyyatul masjid sebelumnya, saya mulai memotret bagian dalam masjid tersebut:

Interior Masjid Agung, dengan mimbar di kanan dan mihrab dibalik tiang.
Detail mihrab...
...dan mimbar dengan ukiran-ukiran dan warna-warni yang mengagumkan.
Serta tabuh larangan (beduk besar) yang hanya dibunyikan untuk tanda bahaya.
Khusus mengenai beduk, masjid ini mempunyai dua beduk. Beduk besar yang disebut dengan tabuh larangan ini hanya dibunyikan sebagai tanda bahaya. Sangat disayangkan, kondisinya seperti yang bisa anda lihat di foto walaupun hal ini bisa dimengerti karena beduk ini mungkin tidak pernah digunakan lagi sejak puluhan tahun silam.

Beduk lain yang lebih kecil - yang saya lupa memotretnya (@#&*!!! - ahem, maaf, saya hanya mengumpati kebodohan diri sendiri :| ) - terletak diluar masjid yang masih digunakan sebagai pengingat waktu shalat telah tiba.

Saya tidak memiliki waktu yang cukup lama untuk memotret lebih banyak karena sudah harus beranjak untuk menghadiri acara-acara keluarga lainnya. Tapi saya masih sempatkan untuk memotret eksterior masjid ini dengan teknik favorit saya: HDR.

Masjid Agung Pondok Tinggi dalam HDR
Saya sempat bersungut-sungut sendiri mengingat lensa 18-55mm saya yang tidak bisa lebih lebar lagi jangkauannya. Untuk mundur beberapa langkah pun tidak bisa karena saya sudah mentok terhalang pagar dan turunan tanah dengan anak tangga dari beton.

So I just make do with what I've got. Berhenti mengeluh dan tetap memotret, dengan angle lain sebagai variasi:

Another view...
...dan detail ukiran pada atap bertingkatnya.
Perhatikan birunya langit dan detail awan. Nice sky and cloud details, huh? Alhamdulillah, karena sebelum berangkat ke Kerinci, saya sudah membeli sebuah filter polarizer untuk lensa-lensa kamera saya :p

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar