Selasa, 02 Agustus 2011

20 tahun dan 1500 mil kemudian... (VI - Habis)

Even good things have to end...


Hal-hal menyenangkan pun tetap ada akhirnya. Setelah enam hari berada di Kerinci, kami harus mempersiapkan perjalanan kembali ke Padang untuk mengejar penerbangan kembali ke Jakarta esok harinya.

Tetapi sebelumnya saya sempatkan dulu mengunjungi bukit Kahyangan dengan diantar kemenakan saya.

Matahari terbit di bukit Kahyangan. Kota Sungai Penuh tertutup kabut di bawahnya.
Lokasinya yang tak seberapa jauh dari kota Sungai Penuh dan pemandangan alamnya yang menakjubkan membuat bukit ini menjadi salah satu objek wisata populer bagi penduduk setempat.

Matahari terbit diatas Sungai Penuh dalam HDR.

Bila memandang lurus ke arah Timur, selain melihat matahari terbit, anda akan mampu melihat pemandangan kota Sungai Penuh khususnya bila kabut yang menggantung rendah sudah terangkat. Tak hanya itu, bila keadaan lebih cerah lagi, jika anda mengarahkan pandangan ke Tenggara anda juga akan bisa melihat danau Kerinci di kejauhan.

Tapi bila memutar badan 90 derajat ke kiri hingga anda menghadap ke Utara, pemandangan inilah yang akan anda lihat:

Gunung Kerinci di kejauhan.
Atau dalam format horizontal, seperti dalam foto pembuka seri tulisan ini dimana gunung Kerinci tampak samar di bagian kiri atas foto:

Panorama arah Utara dari bukit Kahyangan. 
Lalu saya kembali memandang ke arah Timur dimana sisa-sisa kabut yang mulai menghilang memberikan perspektif unik yang menarik untuk difoto:

Bukit-bukit di arah Timur dengan aerial perspective.
Satu hal yang sudah jelas selagi saya berada disana: Untuk membuat foto-foto yang lebih bagus lagi, saya harus datang kembali dan mungkin harus menginap semalaman disana sebelumnya.

Ketika saya hendak berkemas meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba ada pemandangan lain yang membuat saya mengarahkan kamera ke atas. Langit yang sangat biru, dibantu dengan filter polarizer, dengan latar depan sebuah pohon yang menjulang dengan awan yang (nyaris) berbentuk hati sebagai pemanisnya:

Ain't it sweet?
Dan momen itu pun berlalu. Dengan menghela nafas panjang, saya berkata berulang kali di dalam hati bahwa seminggu adalah waktu yang terlalu singkat buat mengabadikan begitu banyak pemandangan alam yang menakjubkan di daerah ini.

"Next time... Next time..."

Ya, lain kali. Dengan seijinNya saya akan kembali lagi :)

***

Lalu tibalah saat keberangkatan, dengan diantar oleh sanak saudara, kami meninggalkan Sungai Penuh selepas Isya dengan kesibukan berbenah sebelumnya yang membuat saya tidak bisa banyak memotret.

Meski demikian, sebelum berangkat saya masih sempat didaulat mengenakan pakaian adat Kerinci untuk diabadikan sebagai kenang-kenangan:

Ahem... :p
Foto oleh Gian Pramayadi
Di tengah perjalanan, tepat sebelum melintasi perbatasan dengan Sumatra Barat, kami berhenti sebentar untuk melepas lelah.


Dan inilah batas Kabupaten Kerinci / Propinsi Jambi dengan Sumatra Barat:


Saya tak melewatkan kesempatan untuk bereksperimen dengan kamera ketika mobil yang saya tumpangi melewati jalan penuh tikungan. Dengan menempelkan kamera di dashboard mobil dan memeganginya sepanjang rana membuka selama 15 detik, menghasilkan foto seperti ini:

Looks nice, IMHO.
Jam setengah dua malam, di suatu tempat di Sumatra Barat, ketika mobil yang mengantar kami kembali berhenti, kali ini di sebuah rumah makan. Buat seseorang yang terbiasa dengan pekatnya polusi di langit Jakarta dimana hanya bintang-bintang yang paling terang yang bisa terlihat jelas di tengah malam sekalipun, pemandangan langit malam disitu terasa benar-benar luar biasa:

Ini bukan foto ketombe. Swear! ISO 1600 f/4 & 30 detik.
Jangan tanya mengenai suhu udara saat itu. Yang jelas, dinginnya udara disana akan membuat anda tidak perlu memasang AC mobil sepanjang perjalanan.

Azan subuh berkumandang ketika kami mencapai Indarung, tak seberapa jauh dari kota Padang. Kami kembali berhenti untuk beristirahat sekaligus menunaikah ibadah shalat subuh di sebuah masjid:


Lalu kami beranjak menuju Padang untuk menanti keberangkatan pesawat ke Jakarta.

Sambil menunggu, kami mengunjungi kerabat dari pihak paman saya yang berdomisili di Padang. Sayangnya saya tak ingat untuk mengambil foto karena sudah terlebih dulu terserang kantuk yang teramat sangat :(

Menjelang tengah hari, kami langsung menuju ke bandar udara Minangkabau, Padang. Kami sudah berada di bandara pada pukul sebelas meskipun pesawat kami baru akan berangkat pukul satu siang. 

Setelah memasuki pesawat, saya merasa lega sekaligus kecewa ketika mendapati tempat duduk yang tepat disamping jendela tapi dengan kaca jendela yang sangat kotor. Walaupun demikian saya masih tetap dapat mengambil foto ketika pesawat melintas diatas gunung Kerinci dan danau Kerinci dalam perjalanannya menuju Jakarta:

Puncak gunung Kerinci yang sebagian tertutup awan,...
...dan danau Kerinci dari ketinggian.
Satu setengah jam kemudian, sampailah kami kembali di Jakarta. Kembali ke kesumpekan ibukota. Dengan segala rupa fasilitas dan kemudahan yang harus dibayar dengan kepadatan, kegerahan dan kemacetannya.

Tapi perjalanan ini masih belum benar-benar usai. Masih dibutuhkan enam jam perjalanan lagi dari bandara untuk mencapai rumah di bilangan Jakarta Selatan... 

***

20 tahun, dan 1500 mil kemudian. 2400 kilometer perjalanan bolak balik dari Jakarta - Padang - Sungai Penuh - Padang - Jakarta, dan segala macam hal yang bisa ditemui diantaranya. Meniti jejak, menghitung jarak. Menjalin kembali silaturahim dan jalinan persaudaraan. Seperti tercermin dalam sebuah pepatah Kerinci yang diberikan ayah saya: 

"Menyulam yang koyak, menyambung yang putus, menisik yang sobek."

Dan betapa seminggu terasa teramat singkatnya. Masih teramat banyak hal-hal yang belum sempat terabadikan melalui lensa-lensa kamera saya. Hal-hal menakjubkan yang belum banyak diketahui orang.

Suatu hari nanti saya akan datang lagi.

Insya Allah.

Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar